Saya Dan Al Quran
Autobiografi
Saya dan Al Qur’an
Setiap
manusia pasti memiliki berbagai pengalaman yang menarik dan mengesankan dalam
kehidupannya. tetapi terkadang tidak dapat dipungkiri pula bahwa pengalaman
seseorang ada yang tidak menarik bahkan cenderung menyedihkan. Dalam autobiografi
ini saya mengangkat tema pengalaman saya dengan Al Quran. Latar belakang
terciptanya tulisan ini sebenarnya karena ada tugas akhir yang dari dosen yang
menganjurkan saya untuk mmembuat sebuah tulisan mengenai autobiografi saya dan
Al Quran. Selain itu memang sudah lama saya tidak mengunggah tulisan di blog
pribadi. Saya mulai pengalaman saya dengan Al Quran dari waktu balita. Pada
saat saya masih balita, sering kakak sepupu saya ketika sepulang dari pondok
mengajak mendengarkan suara para Kyai
yang dengan merdunya melantunkan ayat-ayat Al Quran melalui Compact Disc (CD)
yang diputar di tape recorder kuno. Surat An Nabaa merupakan surat yang sangat
mudah saya hafal waktu itu karena seringnya mendengar surat itu berkali-kali
dalam sehari. Meskipun tempat tinggal saya dan pondok kakak saya tidak cukup
jauh, kira-kira hanya sekitar 500 meter dari rumah, namun saya masih belum
masuk pondok tersebut karena masih belum mengerti apapun. Ketika berada di
Taman Kanak-kanak awal (sekarang PAUD) juga sering diajarkan menghafal surat-surat pendek seperti Al Fatihah, Al
Ikhlas, An Nas, Al Falaq dengan mengikuti ucapan dari guru kelas.
Tiga
tahun kemudian saya dan keluarga pindah ke Tulungagung karena bapak saya yang
memang asli Tulungagung dan kerena tempat kerjanya di Tulungagung. Seusai lulus
dari TK saya niatnya mau di daftarkan di pondok oleh bapak saya, namun karena
alasanyang tidak saya mengerti membuat saya masuk ke dalam Sekolah Dasar. Di
sekolah dasar saya lebih mendapatkan tambahan koleksi hafalan surat-surat
pendek terbaru seperti Al Kautsar, Al Kafirun, Al Maun, An Nasr. Beberapa ayat
diwajibkan untuk dihafal dalam satu minggu.
Semisal untuk minggu pertama hafalan surat Al Kautsar, kemudian di
minggu kedua hafalan surat Al Ma’un. Ketika hafalan terkadang saya dan
teman-teman saya tidak sepenuhnya mampu mengingat seluruh surat, ada beberapa
ayat yang terlewatkan atau bahkan lupa tidak terucapkan. Sehingga guru yang
menyimak hafalan di depan saya terpaksa sesekali memberikan potongan ayat yang
terlewatakan tersebut. Ketika dirumah memang masih belum banyak Tempat
Pendidikan Al Quran (TPA/TPQ) yang tersedia sehingga saya dan teman-teman
dirumah lebih mamilih menghabiskan sore hari untuk bermain. Ketika magrib tiba
bapak saya sering mengajak saya ke masjid untuk sholat berjamaah. Yang saya
harapkan waktu itu mengenai sholat magrib adalah imam yang memimpin sholat
membacakan surat-surat yang menjadi tugas sekolah untuk hafalan. Jadi ketika
imam membacakan surat saya mulai bergumam dengan suara kecil. Sedikit demi
sedikit surat yang saya hafal itu pun mulai tersusun di otak saya.
Beberapa
tahun kemudian pemilik mushola ingin membuka Tempat Pendidikan Al Quran,
sehingga dia menunjuk bapak saya untuk mengajar karena kedekatan pemilik
mushola dengan bapak saya. Yang menjadi murid ya anak-anak warga sekitar.
Karena sebagian besar tetangga saya berprofesi sebagai sopir truk dan montir
truk. Jadi jarang diantara mereka yang mampu mengajarkan pendidikan mengenai
agama. Bapak saya sendiri pula berlatar belakang pendidikan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). Tetapi karena pengalamannnya mengikuti pengajian di beberapa
daerah membuat bapak saya memiliki sedikit ilmu mengenai agama. Koleksi
kitab-kitab, hadits, dan buku-buku dirumah sangat banyak. Kira-kira bisa penuh
jika dimasukan dalam satu lemari pakaian. Anggapan saya mengenai tumpukan
kertas-kertas itu adalah rongsokan atau sekedar sampah. Ya mungkin karena saya
masih kecil sehingga belum mengerti apa isi dari kertas-kertas itu. TPQ
tersebut berlangsung usai sholat magrib sampai adzan sholat isya berkumandang.
Metode belajarnya masih sangat sederhana karena bapak saya tidak memiliki latar
belakang guru. Satu persatu muridnya disuruh maju kedepan termasuk saya,
setelah itu membaca ayat seterusnya sampai batas tertentu dengan disimak oleh
teman dan secara bergantian. Apabila sudah selesai, kemudian membantu temanya
yang belum mahir membaca. Namun karena naluri seorang bocah masih melekat di
dalam diri saya dan teman-teman, banyak ketika selesai maju kedepan untuk
membaca Al Quran saya dan teman-teman justru bermain kejar-kejaran petak umpet
atau yang lainnya di serambi masjid.
Menginjak
Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya masuk ke sekolah negeri di perbatasan
kecamatan. Jaraknya sekitar dua sampai tiga kilometer dari rumah saya. Pada
awalnya sebenarnya saya mendaftarkan diri di Madrasah Tsanawiyah Negeri di
kebupaten saya, yang jaraknya sekita lima sampai enam kilometer dari ruamah
saya. Sebenarnya masuk MTS ini merupakan ide dari bapak saya namun ada
pertentangan antara ide bapak saya dan ibu saya. Karena ibu saya menginginkan
saya untuk daftar ke sekolah yang lebih dekat saja. Sebalknya, bapak saya ingin
saya sekolah di MTS tersebut karena ingin anaknya mandirii sehingga jauh dari
rumahnya dan karena bapak saya sudah tahu kebiasaan MTS tersebut yang setiap
pagi membaca Al Quran. Dalam kegiatan-kegiatan juga masih berkaitan dengan Al
Quran. Intinya nilai-nilai keagamaan dalam MTS lebih terjamin dan berkualitas
daripada di SMP. Saya sebagai anak sempat dilema harus memilih yang mana.
Karena begitu dilemanya, saya memutuskan untuk tetap mengikuti alurnya karena
sudah terlanjur daftar. Saya memacu diri untuk belajar materi-materi yang akan
diujikan. Karena materi yang diujikan hampir sama dengan materi Ujian Nasional
membuat saya tidak terlalu kesulitan dalam belajar. Ada juga tes membaca Al
Quran sehingga saya harus lebih fasih lagi dalam membacanya walaupun masih
tetap terbatah-batah. Yang menjadi pengganjal dalam tes ini hanyalah
matematika. Karena saya tidak mahir dan tidak menyukai matematika, membuat saya
pesimis dengan hasil dari tes nanti. Dugaan saya benar, hari pengumuman tiba
dan saya melihat hasilnya di papan pengumuman. Nilai matematika terendah dan
saya tidak masuk dalam daftar peserta didik MTS. Pupus sudah untuk menggeluti
ilmu agama terutama Al Quran.
Di
Sekolah Menengah Pertama, ilmu-ilmu mengenai agama disatukan dalam satu
pelajaran yaitu Pendidikan Agama Islam. Sama seperti di sekolah dasar. Materi
yang diajarkan juga masih bersifat umum. Namun pembelajran mengenai Al Quran
sudah sampai kepada tajwid dan beberapa hadits disampaikan untuk sekedar
pengantar dalam mempelajari hadits di jenjang berikutnya. Hafalan-hafalan mengenai
surat-surat Al Quran di SMP tidak terlalu mencolok tetapi masih ada kegiatan
rutin untuk menghafal Al Quran. Sempaat terpikirkan dibenak saya untuk
mengikuti sekolah diniyah di salah satu pondok pesantren. Karena beberapa teman
saya ada yang daftar dalam sekolah tersebut. Karena memang lingkungan rumahnya
adalah lingkungan pesantren. Namun pikiran tersebut hanya lewat di benak saja
dan tidak pernah terealisasikan.
Jenjang
pendidikan selanjutnya, saya mendaftar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) terlebih
dahulu. Karena pada waktu itu yang lebih awal membuka pendaftaran adalah dari
MAN. Dan saya pun juga tertarik belajar di MAN karena ingin tahu dan menelisik
lebih dalam suasana sekolah yang benar-benar berbasis agama. Saya daftar ini
juga karena ajakan dari teman saya yang mengandalkan pendaftaran ini untuk
berjaga-jaga apabila tidak dapat diterima di sekolah lain. Sebenarnya saya
kurang percaya diri ketika sudah masuk ke MAN, karena banyak teman saya yang
berasal dari lulusan MTS bahkan dari pondok yang kemampuannya dalam membaca Al
Quran lebih mahir daripada saya. Namun perasaan itu tenggelam pelan-pelan
karena teman-teman saya itu bersikap terbuka terhadap teman yang lain yang
masih belum bisa dengan mahir membaca Al Quran. Sehingga kedekatan saya dengan
Al Quran terasa sangat erat. Setiap pagi kebiasaan membaca Al Quran sebelum
belajar selalu membuat saya senang. Membaca Al Quran selama lima belas sampai
dua puluh menit membuat saya merasa jernih sebelum mengawali belajar. Rutiinan
membaca surat Yasin pada hari jumat pagi lebih membuat saya senang karena surat
Yasin cukup membutuhkan waktu yang lama sehingga durasi pembelajaran menjadi
semakin sedikit ditambah lagi dengan sholat jumat yang cukup memakan waktu.
Pada hari sabtu, membaca Surat Waqiah menjadi agenda rutin warga MAN sebelum
memulai pembelajaran. Yang saya sukai dari surat ini adalah tidak terlalu
panjangnya ayat-ayat yang dibaca. Dan terkadang yang melantunkan surat ini pula
memiliki suara dan nada yang khas. Kedekatan saya dengan Al Quran bertambah
ketika dalam setiap pembelajaran dikaitkan dengan Al Quran. Misalnya pelajaran
biologi dikaitkan dengan ayat Al Quran mengenai penciptaan manusia, langit, dan
bumi. Pelajaran teknologi tepat guna yang mengaitkan ayat Al Quran mengenai
larangan untuk tidak merusak bumi dan anjurannya untuk menjaga bumi supaya
tetap lestari. Pelajaran sosiologi yang mengaitkan dengan ayat Al Quran
mengenai hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia
dengan tuhan. Banyak juga disampaikan mengenai sejarah-sejarah Islam melalui
ayat di dalam Al Quran dan Hadits. Pemahaman mengenai kandungan ayat Al Quran
menjadi lebih dalam ketika guru saya menyampaikan hanya beberapa ayat namun
dalam pembahasannya sangat rinci dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Di
MAN dalam setiap kegiatan tahunan juga masih tidak terlalu jauh dari yang
namanya Al Quran. Banyak perlombaan antar kelas yang masih ada relasi dengan Al
Quran. Misalnya lomba ceramah dengan tema ayat dari Al Quran, tilawatil Quran,
dan lain sebagainya. Mungkin pengalaman di MAN yang membuat saya sangat dekat
dengan Al Quran. Di MAN ini pula saya lebih mengenal tokoh-tokoh penghafal Al
Quran dan beberapa tokoh yang mampu melantunkan Al Quran dengan suara yang
begitu indah. Dan pengalaman di MAN ini yang mengakhiri dari autobiografi saya
mengenai runtutan pengalaman saya dengan Al Quran. Terimakasih.
Komentar
Posting Komentar